Surabaya – Hikayat atau legenda bukanlah sekadar dongeng atau cerita rakyat yang ditulis atau dituturkan secara turun temurun, yang berkembang pada suatu masyarakat, suku, atau daerah. Legenda merupakan cerita yang berkembang mengiringi suatu keadaan yang nyata di tengah masyarakat, yang memberi pengajaran dan pencerahan nilai kehidupan pada masyarakatnya.
Demikian pula legenda Sangkuriang. Cerita rakyat asal tanah Sunda, Jawa Barat ini memiliki banyak sekali nilai dan pelajaran hidup yang sangat mendalam, yang telah banyak dilupakan oleh sebagian masyarakat. Ada banyak nilai yang lahir, berkembang, diyakini, dan dilestarikan dalam masyarakat, karena pesan moral itu dapat menjadi tuntunan dalam menjalankan hidup bersama yang lebih baik.
Nilai moral yang dapat diperoleh dari cerita legenda ini dapat menjadi pedoman bagi generasi muda masa kini untuk lebih menghargai budaya, menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan alam semesta, serta memahami pentingnya kejujuran dan pengendalian diri dalam kehidupan sehari-hari.
Inilah yang coba dihadirkan dalam teater musikal anak berjudul “Hikayat Anak yang Sombong” legenda Sangkuriang, yang dipentaskan di Gedung Balai Budaya, Komplek Balai Pemuda Surabaya, Sabtu-Minggu, 11-12 Oktober 2025, mulai pukul 19.30 WIB.

Mengangkat cerita rakyat dalam karya seni teater yang kini sudah jarang dijumpai di Surabaya, Bengkel Muda Surabaya mengajak penonton yang hadir untuk masuk dalam dunia imajinasi anak-anak, sambil menanamkan nilai-nilai moral tentang sikap rendah hati dan menghormati orang lain terlebih orang tua. Penampilan seni teater ini dipadu antara dialog, musik, tata gerak dan elemen tradisional lokal, sehingga menciptakan tampilan panggung yang lebih ekspresif.
“Kami ingin menghadirkan kembali ruang bermain yang mendidik, tidak hanya menghibur tapi juga menanamkan nilai-nilai etika bagi anak-anak di tengah dunia modern yang serba cepat,” kata Heroe Budiarto, Sutradara sekaligus Ketua Umum Bengkel Muda Surabaya.
Pentas seni teater ini menghadirkan total 32 anak mulai usia SD, SMP, SMA, serta beberapa pemain pendukung dari usia dewasa. Jalan cerita dimulai dari cerita narator yang menjelaskan kisah singkat dari Sangkuriang, dan penggambaran awal lahirnya Dayang Sumbi yang ditemukan dan diasuh oleh seorang raja. Dayang Sumbi yang tumbuh menjadi gadis cantik, menarik hati para raja, pangeran, dan bangsawan dari berbagai kerajaan, namun tidak ada satu pun yang mampu menaklukkan hatinya. Di tengah kegalauan hatinya, Dayang Sumbi menyepi untuk menenangkan diri, dengan menyingkir ke dalam hutan di sebuah pegunungan. Dia hanya ditemani dayang dan seekor anjing kesayangannya bernama Tumang.

Pada suatu ketika, Dayang Sumbi menenun dan saat asyik mengerjakan tenunannya, ternyata ada bagian alat tenunnya yang terjatuh di bawah rumahnya yang ada di bagian atas bukit. Dayang Sumbi pun berjanji bila ada yang bisa mengambilkan peralatan tenunnya yang terjatuh, seandainya perempuan akan dijadikan saudara, dan laki-laki akan dijadikan suami. Si Tumang, anjing kesayangannya berhasil membawa kembali peralatan tenunnya. Dayang Sumbi pun menilah dengan Si Tumang, yang ternyata jelmaan dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing. Dayang Sumbi melahirkan anak laki-laki dan dinamai Sangkuriang.
Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat, pintar dan pandai memanah. Suatu ketika Dayang Sumbi meminta Sangkuriang membawakan hati kijang untuk dirinya. Sangkuriang berburu ke hutan, dan melepaskan anak panahnya. Sayangnya anak panah malah mengenai Si Tumang, anjing kesayangan yang menemaninya berburu. Maka, Sangkuriang mengambil hati Si Tumang untuk dibawakan sebagai oleh-oleh untuk ibunya.
Dayang Sumbi akhirnya mengetahui bahwa hati yang dibawakan oleh Sangkuriang dari berburu adalah hati Si Tumang yang tidak sengaja mati terbunuh. Dayang Sumbi marah dan tanpa disadari memukul centong nasi ke kepala Sangkuriang hingga berdarah. Sangkuriang pergi meninggalkan rumah dengan amarah.

Seiring berjalannya waktu, Sangkuriang tumbuh dewasa dan menjadi kuat dan gagah perkasa. Sangkuriang berjumpa dengan Dayang Sumbi yang masih terlihat muda dan cantik. Sangkuriang tidak mengenali Dayang Sumbi, dan akhirnya saling jatuh hati. Saat Sangkuriang hendak berburu, Dayang Sumbi membantu memakaikan ikat kepala milik Sangkuriang. Tanpa sengaja Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala Sangkuriang. Setelah mendengar asal mula terjadinya luka itu, Dayang Sumbi mengetahui bahwa itu Sangkuriang anaknya.
Dayang Sumbi mengatakan bahwa mereka tidak bisa menikah karena ia adalah ibu Sangkuriang. Namun Sangkuriang tidak percaya dan gelap mata, tetap ingin menikahi Dayang Sumbi. Untuk dapat menikahi Dayang Sumbi, Sangkuriang harus membendung Sungai Citarum untuk dijadikan danau dengan perahu besar di tengah-tengahnya. Waktu yang diberikan hanya sampai matahari terbit, atau Sangkuriang batal menikahi Dayang Sumbi.
Dengan kekuatannya, Sangkuriang mengerahkan pasukan roh halus, untuk membantu mempercepat pengerjaan danau dan perahu besar yang diminta Dayang Sumbi. Karena khawatir akan kekuatan Sangkuriang, Dengan berbagai upaya sambil berdoa, Dayang Sumbi meminta bantuan pada dewa agar ayam jantan berkokok sebelum matahari terbit. Akhirnya sebelum matahari terbit, ayam jantan berkokok dan membuat takut pasukan roh halus sehingga pergi meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai. Sangkuriang pun gagal memenuhi syarat menikahi Dayang Sumbi. Dipenuhi amarah, Sangkuriang menendang perahu besar yang belum jadi, hingga tertelungkup di salah satu bukit. Kini tempat itu disebut Gunung Tangkuban Perahu. Sedangkan Dayang Sumbi berlari meninggalkan Sangkuriang dan bersembunyi di sebuah bukit. Tempat itu sekarang disebut Gunung Putri.

Itulah ringkasan kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi, yang dimainkan dengan memadukan adegan, musik, dan tata gerak yang memperkuat suasana cerita. Pertunjukan juga menampilkan kembali aktivitas dolanan anak-anak yang nyaris punah oleh arus zaman, seperti sepur-sepuran, bernyanyi berbalas, serta bermain bersama di bawah sinar rembulan, yang kini hampir tidak pernah dijumpai dilakukan anak-anak di perkotaan.
“Kami ingin mengingatkan kembali betapa berharganya kebersamaan dan permainan sederhana masa lalu. Anak-anak sekarang tumbuh di tengah dunia digital yang cepat, tapi mereka tetap butuh ruang untuk berimajinasi dan belajar tentang kehidupan dengan cara yang menyenangkan,” ujar Heroe.
Dengan kemasan yang riang dan penuh warna, “Hikayat Anak yang Sombong” menjadi tontonan keluarga yang menghibur dan sarat nilai moral yang bisa menjadi pelajaran bagi generasi muda, agar tumbuh menjadi anak yang rendah hati, bijaksana, menghargai orang lain, dan berbudaya. Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, Fauzi Mustaqim Yos berharap kegiatan seni budaya seperti teater dapat dikembangkan untuk menjaga nilai-nilai kebudayaan di tengah masyarakat yang beragam.
“Melalui teater, dapat ditanamkan nilai-nilai kebudayaan, moral, etika, dalam bentuk yang menarik dan menyenangkan,” kata Fauzi.
Sejak tahun 2018, Bengkel Muda Surabaya membuka kelas teater anak bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga, serta Pariwisata Kota Surabaya. Dari sinilah lahir Teater Anak Bengkel Muda Surabaya, yang konsisten melibatkan anak-anak usia sekolah dasar hingga menengah pertama untuk belajar seni peran dan bekerja sama dalam dunia teater. Beberapa karya yang telah dipentaskan sebelumnya antara lain: “Sawunggaling Anak Dunia” (2019), “Jaka Jumput Tanding” (2021), “Merdeka Negeriku” (2022), “Dolanan Yuk” (2022), dan kini “Hikayat Anak yang Sombong” (2025).
Teater musikal ini seakan menjadi oase di tengah minimnya ruang berekspresi bagi anak-anak dalam dunia seni pertunjukan khususnya di kota besar seperti Surabaya. Lebih dari dua bulan waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan pertunjukan ini, melalui latihan rutin dengan menghafalkan dialog, adegan, dan berbagai interaksi yang terjadi di dalam cerita. Semua dilakukan anak-anak dengan sungguh-sungguh dan bersemangat.
“Apresiasi untuk ana-anak yang tak kenal lelah berproses untuk berlatih hingga pementasan selama dua hari ini,” ucap Ndindy Indiyati, selaku Stage Manager. (Petrus Riski)